Selasa, 09 April 2013

biografi Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Memperingati Haul Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi)

Biografi Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Memperingati Haul Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi)



Ibu kandungku adalah seorang sayyidah shalihah, arifah billah, dan da’iyah ilallah, Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri. Beliau berasal dari kota Syibam. Sementara ayahku adalah seorang yang gemar berdakwah di kalangan pria maupun wanita.
Ketika mendengar ihwal ibuku, ayah­ku ingin memperistri dan membawanya ke kota kediamannya. Saat itu beliau masih tinggal di Taribah. la kemudian meminta tolong dua orang Arif billah, Umar bin Muhammad Bin Smith dan Ahmad bin Umar bin Zain Bin Smith untuk meminang ibuku.
Kedua sayyid itu lalu menemui kakekku, yang shalih, Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri. Keduanya menceritakan maksud kedatangan mereka dan menjelaskan bahwa ayahku adalah seorang ahli dakwah. Mereka berdua menganjurkan agar beliau menerima lamaran ayahku.
Kakekku lalu menerima lamaran ayahku. Beliau sama sekali tidak menanyakan keadaan keuangan ayahku.

Masa Kecil sampai Usia Dewasa
Aku lahir di Desa Qasam, suatu desa yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali bin Alwi Khali’ Qasam (w. 529 H/1135 M), semoga Allah memberi kita manfaat dengannya. Desa yang penuh dengan cahaya. Di desa ini Habib Ali bin Alwi bercocok tanam.
Beberapa salaf kita juga sering berkunjung ke desa ini, mereka membangun masjid dan rumah di sana. Di antaranya, Sayyidina Al-Arif Al-Quthb Asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Assegaf. Di desa ini beliau membangun sebuah masjid yang besar. Beberapa tokoh Alawiyyin yang lain juga melakukan hal yang sama.
Aku lahir di desa itu pada hari Jum’at, 24 Syawwal 1259 H/1843 M.
(Ketika Habib Ali berusia tujuh tahun, yakni pada tahun 1226 H/1850, Habib Muhammad, yaitu ayah Habib Ali, hijrah ke Makkah, bersama tiga saudara Habib Ali yang telah dewasa: Abdullah, Ahmad, dan Husein. Habib Muhammad menyerahkan sang putra, Habib Ali, di bawah asuhan ibunya, yang tetap tinggal di Qasam. Kemudian Habib Ali bersama ibunya pindah ke Seiwun pada usia sebelas ta­hun. Dalam perjalanan ke Seiwun, ia melewati Masilah dan singgah di rumah Allamah Sayyid Abdullah bin Husein Bin Thahir. la menggunakan kesempatan itu untuk menelaah kitab, mengambil ijazah, dan ilbas).
Ibuku dahulu mendoakan aku, “Ali, semoga Allah meninggikan kedudukanmu di dunia dan akhirat.”
Beliau sering mengulang-ulang doa ini sampai Allah mengabulkannya dan meninggikan kedudukanku di dunia, dan aku berharap Dia akan meninggikan keduduk­anku pula di akhirat. Masyarakat senang menyebut namaku. Orang-orang yang tidak kukenal datang dari tempat-tempat yang jauh hanya untuk memandangku.
Aku membaca kehidupan orang-orang shalih dalam buku-buku salaf, meneliti maqam mereka, dan melihat kelemahanku. Lalu kukatakan kepada ibuku, “Bu, katakanlah, ”Ya Allah, berilah anakku Ali maqam Fulan dan maqam Fulan.”
Beliau berdoa dan aku mengamini. Doa kedua orangtua akan dikabulkan oleh Allah. Dan ibuku adalah seorang yang shalihah.
Qubah Makam Al-Habib Ali Al-Habsyi
Suatu hari ayahku mengirim sepucuk surat kepadaku dari Makkah. Di dalamnya beliau menulis: Pergilah ke Makkah, kau tak kuizinkan tinggal di Hadhramaut.
Aku segera memberi tahu ibuku. “Kita tidak bisa menentang kehendak ayahmu,” kata ibuku.
Sebenarnya ibuku tidak sanggup berpisah denganku, aku pun merasa berat untuk berpisah dengannya. Jika teringat perjalanan yang harus kulakukan ini, kami menangis.
Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan waktu keberangkatanku semakin dekat. Pada saat keberangkatan, ibuku berpesan kepada Ahmad Ali Makarim, ”Tolong perhatikan Ali, ia belum pernah me­lakukan perjalanan jauh.”
Baik,” jawabnya. Kami kemudian berangkat meninggalkan Seiwun menuju Makkah.
Di tengah perjalanan kami singgah di Syihr. Setiap hari, aku makan siang dan malam hanya berlaukkan sepotong ikan yang kubeli dengan uang satu umsut.
Dari Syihr, aku pergi ke Jeddah, ke mudian ke Makkah, ke tempat ayahku. Beliau sangat senang dengan kedatanganku.
(Beberapa lamanya Habib Ali tinggal di Makkah bersama ayahnya dan menimba ilmu kepada sang ayah, yang tak lain adalah mufti Syafi’iyyah di Masjidil Haram. Suatu hari sang ayah mengutusnya menemani Habib Alwi Assegaf, yang hen- dak dinikahkannya dengan Syarifah Aminah, saudara perempuan Habib Ali, ke Hadhramaut. Setelah selama dua sampai tiga bulan tinggal di Seiwun, Habib Alwi kembali ke Makkah bersama istrinya, sedangkan Habib Ali tetap tinggal di Seiwun).
Aku dan ibuku kemudian pergi ke Qasam. Di sana aku menikah dengan ibu Abdullah (putra tertua Habib Ali). Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Penduduk Qasam adalah orang-orang yang cinta kebaikan. Setiap tamu undangan memberi kami dua mud gandum. Kami memotong seekor kambing untuk jamuan makan di malam pernikahan.

Hormat dan Ta’zhim kepada Guru
Ketika Habib Abubakar bin Abdullah Al-Aththas datang ke Seiwun bertamu di rumah Ammi (Pamanda) Muhammad bin Ali Assegaf, aku pergi untuk menemuinya.
Kuketuk pintu rumah Ammi Muham­mad. Habib Abubakar bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
“Biarkan saja ia di depan rumah, jangan kau bukakan pintu!” kata Habib Abubakar kepada Ammi Muhammad.
Aku mendengar suara Habib Abu­bakar, lalu aku duduk dan teringat cerita Habib Ali bin Abdullah ketika hendak menemui syaikhnya, Habib Ali bin Abdullah Alaydrus. la tidak dibukakan pintu, dan dibiarkan di depan rumah. la bahkan diguyur kepalanya dengan air bekas cucian tangan setelah makan. Namun perlakuan ini tidak mengusiknya, ia tetap duduk di depan rumah sampai dibukakan pintu.
Beberapa saat kemudian Ammi Muhammad melongok ke bawah dan melihatku tetap duduk menunggu. ia bertanya kepada Habib Abubakar, “Kita bukakan pintu?”
“Jangan!” jawab Habib Abubakar. Aku bersabar menunggu sampai kemudian Habib Abubakar berkata kepada Ammi Muhammad, “Katakan kepadanya agar menemuiku di rumah Abdul Qadir bin Hasan bin Umar bin Saggaf, katakan bahwa aku hendak pergi ke sana,” kata Habib Abubakar.
Aku lalu pergi ke sana dan bertemu Habib Abubakar. la menyingkap isi hatiku, “Ketahuilah, kau seperti Habib Ali bin Abdullah, bahkan lebih besar.”
Habib Abubakar berkata kepadaku, “Syarat pertama yang kutujukan kepadamu adalah bahwa kau harus terus mengajarkan ilmu zhahir, dan tidak boleh menyibukkan diri dalam ilmu bathin.”
Aku menjalankan perintah, yakni selalu mengajarkan ilmu zhahir dan tidak pernah menyibukkan diri dalam ilmu ba­thin, karena perintah Habib Abubakar.
Suatu ketika Habib Abubakar datang ke Seiwun di waktu malam, dan aku tidak tahu. Sewaktu tidur aku mendengar suara, “Bagaimana kau bisa tidur, padahal syaikhmu datang ke kota ini?” Suara itu diulang sepuluh kali sehingga aku terbangun.
Keesokan harinya aku bertanya tentang Habib Abubakar dan mendapati be­liau di Masjid Thaha. Masjid telah penuh dengan habaib, di antaranya adalah Ammi Muhsin bin Alwi, Ammi Muhammad bin Ali, dan Iain-Iain. Namun demikian, aku tidak melihat seorang pun kecuali Habib Abubakar, karena luapan rasa cintaku.
Sejak saat itu pintu hubunganku de­ngan beliau mulai terbuka. Sewaktu aku menjabat dan mencium tangan beliau, beliau berkata, “Selamat datang, Al-Habsyi kami.”
Aku berhubungan dengan Habib Abu­bakar dan beliau memperlakukan aku dengan akhlaq yang sangat luhur. Beliau mencurahkan segenap ilmunya, walau pertemuanku dengan beliau hanya ber­langsung kurang lebih empat kali. Namun satu detik bersama beliau lebih dari cukup.
(Habib Ali juga sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu dari orang-orang alim di sana. Di sana ia bertemu Sayyid Abdullah bin Husein bin Muhammad, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Umar bin Hasan Al-Haddad, dan ulama besar sezamannya yang lain, seperti Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Habib Ali bin Idrus Bin Syihab dan Imam Umar bin Abdurrahman Bin Syihab. Penduduk Tarim dan yang lainnya menyambutnya karena mereka melihat tanda kebaikan pada dirinya. Habib Ali juga menuntut ilmu dari ulama di zamannya, seperti Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar, imam para sayyid yang mulia, Habib Ahmad bin Ab­dullah bin Idrus Al-Bar, Imam Idrus bin Umar bin Idrus Al-Habsyi, dan yang lainnya).

Ribath dan Masjid Ar-Riyadh
Selama tiga puluh tahun aku tinggal di daerah ini (kota Qasam), di Masjid Hambal. Siang dan malam Masjid Hambal makmur dengan dzikirtilawatul Qur’an dan pengajian. Para tetangga masjid ini banyakyang menjadi pengusaha, namun mereka semua orang yang gemar beribadah. Mereka melaksanakan berbagai ke- bajikan, membaca Al-Qur’an, dan shalat di akhir malam.
Ketika aku mengajar di Masjid Ham­bal, yang menghadiri majelisku sekitar 400 orang. Sewaktu aku masih menjadi imam di Masjid Hambal, masjid itu penuh dengan kebajikan. Orang beribadah d situ, me­nuntut ilmu di situ, dan mendapatkan makanan lezat di situ.
Setiap shalat Tarawih, aku membaca sepuluh juz, setiap rakaat delapan muqra’. Sedangkan malam Jum’at, dari sahur hingga fajar kugunakan untuk membaca Dalail.
(Ketika Habib Ali berusia 37 tahun, ia membangun ribath yang pertama di Hadhramaut, yaitu di kota Seiwun, untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Biaya orang-orang yang tinggal di ribath itu ia tanggung sendiri. Di samping itu ada juga beberapa wakaf yang digunakan untuk membiayai keperluan mereka).
Para penghuni ribath adalah orang-orang baik yang kebanyakan berasal dari luar kota. Siang dan malam mereka lewatkan dalam ketaatan: ada yang mem­baca Al-Qur’an, mengajar, menghafal, dan ada yang mengulang pelajarannya. Kita wajib melayani mereka siang dan malam.
Alhamdulillah, semenjak selesai dibangun, ribath ini selalu makmur. Setiap kali mereka menyelesaikan pelajaran, se­tiap kali pula datang orang lain yang menuntut ilmu. Syaikh Muhammad Bathweih, semoga Allah memberkatinya, selalu berada di ribath, ia “meninggalkan” keluarganya untuk mengajar di ribath. Semenjak kedatangannya di ribath, ia selalu menyibukkan diri dengan ilmu. Semua guru yang sekarang mengajar di Seiwun adalah pelajar-pelajar yang dulu telah selesai belajar kepadanya. Beliau mengajar dan memperhatikan mereka. Beliau adalah seorang yang benar-benar alim.
Ketika aku melewati ribath, terdengar gemuruh suara orang yang sedang mem­baca Al-Qur’an, berdzikir, belajar, dan berceramah. Aku mengucapkan puji syukur ke­pada Allah, yang telah menyenangkan hatiku dengan mewujudkan niatku mendirikan ribath. Ribath ini kudirikan dengan niat-niat yang baik, dan ribath ini menyimpan rahasia (sirr) yang besar, menyadarkan mereka yang lalai, dan membangunkan mereka yang tertidur.
Betapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, betapa banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath Ini mengubah orang yang tidak mengerti apa-apa menjadi orang yang alim.
(Ketika Habib Ali berusia 44 tahun, ia membangun masjid yang kemudian dl namai “Masjid Ar-Riyadh”. Berikut syi’ir Habib Ali tentang Masjid Ar-Riyadh yang ia gubah pada bulan Syawwal 1305 H/ 1888 M)

Inilah Riyadh,
ini pula sungai-sungainya yang mengalir
Yang memakmurkan mereguk segar airnya
Yang bermukim tercapai tujuannya
Yang berkunjung terkabul keinginannyn Masjid ini dibangun di atas tujuan yang shahih
Maka terlihatlah tanda-tanda keberhasilannya

Maulid Simthud Durar

(Ketika usia Habib Ali menginjak 68 tahun, ia menulis kitab Maulid yang diberi nya nama Simthud Durar. Maulid ini kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadhramaut dan tempat tempat lain yang jauh, hingga sampai pula ke Nusantara).
Maulid Simthud Durar
Dakwahku akan tersebar ke seluruh wujud. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada Allah, dan akan membuat mereka dicintai Nabi SAW.
Jika seseorang menjadikan kitab Maulid-ku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, rahasia (sirr) Al Habib SAW akan tampak pada dirinya.
Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW
Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah membukakan ke­padaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku.
Dalam surat-menyuratku ada bebe­rapa sifat agung Nabi SAW. Andaikan Nabhani (Syaikh Yusuf bin Ismail An- Nabhani, seorang alim besar dari Iskandaria yang produktif dalam menulis kitab dan hidup semasa dengan Habib Ali) membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu.
Munculnya Maulid Simthud Durar di zaman ini akan menyempu makan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh orang-orang za­man akhir. Tapi setelah Maulid ini datang, ia akan menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi SAW sangat menyukai Maulid ini.

Kesendirianku bersama Tuhanku
Makam Beliau
Alhamdulillah, sejak kecil aku tidak pernah memperturutkan hawa nafsuku. Kadangkala orang yang mendengar ucapan mereka yang memusuhiku da­tang menemuiku dan berkata, “Doakanlah mereka dengan keburukan.”
Aku jawab, ”Tidak!” Aku bahkan mendoakan agar Allah memberi hidayah ke­pada mereka dan memperbaiki kesalahan mereka. Dan, alhamdulillah, maqam ini telah kupegang selama lima puluh tahun, dan setiap tahun selalu meningkat.
Ini merupakan karunia Allah SWT. Aku tidak memintanya, baik dengan hati maupun lisan, akan tetapi Allah SWT te­lah bermurah kepadaku.
Sesungguhnya aku tidak menyukai sambutan-sambutan dan kerumunan orang yang ada di sekitarku. Yang kusukai adalah kesendirianku bersama Tuhanku.
(Zhuhur, hari Ahad, 20 Rabi’ul Akhir 1333 H/1915 M, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi wafat. Waktu ashar keesokan harinya, jenazahnya diantar ke makam dalam suatu iring-iringan yang, karena begitu banyak dihadiri oleh manusia, digambarkan dengan tidak ada awal dan akhirnya. Jenazah Habib Ali kemudian dikebumikan di sebelah barat Masjid Ar-Riyadh)

Sumber: dari Majalah Alkisah No. 06/2011 yang diisarikan dari buku Biografi Habib Ali Habsyi Muallif Simtud Durar*

Rabu, 03 April 2013

Biografi Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib

Biografi Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib


Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Al Faqih Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Beliau dilahirkan pada malam senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim ) dan terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.

Kedua Orang Tua Beliau

Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna. Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-Wilayah ( Kewaliyan ).

Masa kecil Beliau

Ketika Habib Abdullah berusia 4 tahun, beliau terserang penyakit cacar. Demikian hebat penyakit itu, hingga hilanglah penglihatan beliau. Namun musibah ini sama sekali tidak mengurangi kegigihannya dalam menuntut ilmu. Beliau berhasil menghafal Al Qur’an dan menguasai berbagai ilmu agama ketika masih kanak-kanak. Beliau sejak kecil gemar beribadah da riyadhoh. Nenek dan kedua orang tuanya sering kali tidak tega menyaksikan anaknya yang buta ini melakukan berbagai ibadah dan riyadhoh. Mereka menasehati agar beliau berhenti menyiksa diri. Demi menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah pun mengurangi ibadah dan riyadhoh yang sesunguhnya amat beliau gemari.
Di masa mudanya beliau berperawakan tinggi, berdada bidang, berkulit putih, berwibawa dan di wajahnya tidak tampak bekas-bekas cacar yang dahulu menyebabkan beliau kehilangan penglihatannya.

Guru-guru Habib Abdullah bin alwi Al Haddad

1. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrohman Al-Aththos bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin Abdullah bin Abdurrohman Asseqaff,
2. Al-Allamah Al-Habib Aqil bin Abdurrohman bin Muhammad bin Ali bin Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin Abdurrohman Asseqaff,
3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrohman bin Syekh Maula Aidid Ba’Alawy,

4. Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad Bahasan Al-Hudaily Ba’Alawy
5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Abdurrohman Asseqaff
6. Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar bin Syaikh Abdurrahman Asseqaff
7. Sayyid Syaikhon bin Imam Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
8. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
9. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrohman bin Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus
10. Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin Ahmad Ba Alawy Al-Asqo
11. Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qusyasyi

Murid-murid Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad

1. Habib Hasan bin Abdullah Al Haddad ( putra beliau )
2. Habin Ahmad bin Zein Al Habsyi
3. Habib Abdurrahman bin Abdullah BilFaqih
4. Habib Muhammad bin Zein bin Smith
5. Habib Umar bin Zein bin Smith
6. Habib Umar bin Abdullah Al Bar
7. Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahnan As Segaf
8. Habib Muhammad bin Umar bin Toha Ash Ahafi As Segaf
9. dll.

Suatu hari beliau berkata :

”Dahulu orang menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku “.

Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyad.

Beliau berpesan :

“Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli syariat kepada tarekat ( thariqah ) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat kepada hakikat ( haqiqah ) dengan bahasa hakikat, ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul Haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.”

Ibadah Beliau

Pada masa Bidayahnya ( permulaannya ); setiap malam beliau mengunjungi seluruh masjid di kota Tarim untuk beribadah. Telah lebih 30 tahun lamanya beliau beribadah sepanjang malam. Ketika beliau berada di Bidayahnya, Al-Faqih Abdullah binAbu Bakar Al-Khotib, salah seorang guru Fiqih beliau, berkata :

”Aku bersaksi bahwa Syyidi Abdullah Al Haddad berada di Maqom Sayyid ath-Thoifah Junaid.”
Ratib Al Haddad dan Wirdul Lathif

ketika beliau berusia 27 tahun, beberapa orang ( Syi’ah ) Zaidiyyah masuk ke Yaman. Para Ulama khawatir akidah masyarakat akan rusak karena pengaruh ajaran para pendatang syi’ah itu. Mereka lalu meminta beliau untuk merumuskan sebuah doa’ yang dapat mengokohkan akidah masyarakat dan menyelamatkan mereka dari faham-faham sesat. Beliau memenuhui permintaan mereka lalu menyusun sebuah doa’ yang akhirnya dikenal dengan nama Ratb Al Haddad. Disamping itu beliau juga merumuskan bacaan dzikir yang dinamainya Wirid al-Lathif. Ketika berusia 28 tahun, ayah beliau meninggal dunia dan tak lama kemudian ibunya menyusul.

Keluhuran Budi Beliau

Dalam kehidupannya, beliau juga mendapat gangguan dari masyarakat lingkungannya, Beliau berkata :

Kebanyakan orang, jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka tabah dan sabar; mereka sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah SWT. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa bahwa gangguan-gangguan itu sebenarnya juga qodho dan qodar Allah SWT, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah SWT hendak menguji dan menyucikan jiwa mereka.

Rasulullah bersabda :

“Besarnya pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah SWT mencintai suatu kaum, ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoannya; barang siapa tidak ridho, Allah SWT akan murka kepadanya.” ( HR Thabrani dan Ibnu Majah )

Habib Abdullah juga menjadikan Ratib Al-Atthas karya gurunya, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas sebagai rujukan. Ketika seseorang datang minta ijazah atau izin mengamalkan Ratib Al-Haddad; beliau berkata :

“Bacalah Ratib Guruku, kemudian baru Ratibku”

Ini merupakan cermin bagaimana seorang murid menghormati gurunya, meski karyanyalah yang lebih populer.

Habib Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. Beliau berkata :

”Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci dan iri pada seseorang!”

Dalam mengarungi bahtera kehidupan, beliau lebih suka berpegang pada hadits Rasulullah SAW :

”Orang beriman yang bergaul dengan masyarakat dan sabar menanggung gangguannya, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi gangguannya.” ( HR Ibnu Majah dan Ahmad )

Dalam kesempatan lain beliau berkata :

“Sesungguhnya aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapapun dari mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun sahara. Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat dariku.”

Beliau menulis dalam sya’irnya :

Bila Allah SWT mengujimu, bersabarlah
karena itu haknya atas dirimu.
Dan bila ia memberimu nikmat, bersyukurlah.
Siapapun mengenal dunia, pasti akan yakin
bahwa dunia tak syak lagi
adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan.

Beliau tidak pernah bergantung pada mahluk dan selalu mencukupkan diri hanya kepada Allah SWT. Beliau berkata :

“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan karunia Allah SWT. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya.”
“Aku tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, karena aku mrnganggap orang itu hanyalah perantara saja,”

Beliau sangat menyayangi kaum faqir miskin,

“Andaikan aku kuasa dan mampu, tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum faqir miskin. Sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh kaum Mukminin yang lemah.” “Dengan sesuap makanan tertolaklah bencana.”
Karya-karya Beliau

1. An Nashoihud Diniyyah wal Washoyal Imaniyyah
2. Ad Da’watut Tammah wat Tadzkiratul ‘Ammah
3. Risalatul Mu’awanah wal Muzhoharah wal Muazaroh
4. Al Fushul ‘Ilmiyyah
5. Sabilul Iddikar
6. Risalatul Mudzakaroh
7. Risalatu Adabi sulukil Murid
8. Kitabul Hikam
9. An Nafaisul ‘Uluwiyah
10. Ithafus Sail Bijawabil Masail
11. Tatsbitul Fuad
12. Risalah Shalawat ; diantaranya Shalawat Thibbil Qulub ( Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wadawa-iha, wa’afiyati abdani wa syifa-iha, wanuril abshari wadliya-iha, wa’ala alihi washahbihi wasalim.)
13. Ad-Durul Mandzum (kumpulan puisi )
14. Diwan Al-Haddad (kumpulan puisi )

Karya-karya beliau sarat dengan inti sari ilmu syari’at, adab islami dan tarekat, penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata bahasa yang memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Berisi ajaran tasawuf murni. Beliau berkata :

“Aku mencoba menyusunnya dengan ungkapan yang mudah, supaya dekat dengan pemahaman masyarakat, lalu kugunakan kata-kata yang ringan, supaya segera dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh kaum khusus maupun awam.”

Seluruh tulisannya sarat dengan ajaran islam ( tauhid, syari’at, akhlaq, tarekat ) semuanya tersaji bercirikan tasawuf. Dalam Ad-Durrul Mandzum, misalnya beliau menulis :

“Dalam bait-bait yang aku tulis ini, terdapat berbagai ilmu yang tidak yang tidak ada dalam kitab lainnya. Maka barang siapa membacanya secara rutin, lalu berpegang teguh kepadanya, cukup sudah baginya.”

Ada keyakinan di kalangan sebagian kaum muslimin, membaca karya Habib Abdullah bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu keselamatan, bukan hanya bagi pembacanya, melainkan juga masyarakat sekitarnya.

Sebagai Mujaddid Abad ke 11 H.

Penganut Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid ( pembaharu )abad 11 H. pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli.
Seseorang pernah menggambarkan kedudukan beliau dengan ungkapan yang indah,yaitu:

”Dalam Dunia Tasawuf Imam Ghazali ibarat pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat tukang potong dan Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah penjahitnya.”

Beberapa Ulama memberinya beberapa gelar, seperti :

• Syaikhul Islam ( Rujukan utama keislaman )
• Fardul A’lam ( Orang teralim )
• Al-Quthbul Ghauts ( Wali tertinggi yang bisa menjadi wasilah pertolongan )
• Al-Quthbud Da’wah wal-Irsyad ( Wali Tertinggi yang memimpin Dakwah )


Pendapat Ulama tentang Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.

Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat dizaman ini ( abad 12 H ).

Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy"
Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”

Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka'at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah ( fath ) dari allah swt sejak masa kecilnya".
Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).

Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.

Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”

Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya".

Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku berta'alluq kepadanya".

Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini".
Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”

Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”

Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya,bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy al-Haddad ra".
Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”


Wafatnya Beliau
Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H / 1712 M, beliau sakit dan tidak ikut shalat ashar berjamaah di masjid dan pengajian sore. Beliau memerintahkan orang-orang untuk tetap melangsungkan pengajian seperti biasa dan ikut mendengarkan dari dalam rumah. Malam harinya, beliau sholat ‘isya berjamaah dan tarawih. Keesokan harinya beliau tidak bisa menghadiri sholat jum’at. Sejak hari itu, penyakit beliau semakin parah. Beliau sakit selama 40 hari sampai akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqaidah 1132 H / 1712 M beliau wafat di kota Tarim, disaksikan anak beliau, Hasan.
Beliau wafat dalam usia 89 tahun, meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum di dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman Zanbal, Tarim.
Meski secara fisik telah tiada, secara batin Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad tetap hadir di tengah-tengah kita, setiap kali nama dan karya-karyanya kita baca.

al-Quthub Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, mempunyai enam orang anak laki:
1. Zainal Abidin
2. Hasan, wafat di Tarim tahun 1188 H, anaknya Ahmad.
3. Salim
4. Muhammad, keturunannya di Tarim
5. Alwi, wafat di Makkah tahun 1153 H, keturunannya di Tarim
6. Husin, wafat di Tarim tahun 1136 H keturunannya di Aman, Sir, Gujarat


( Al Kisah No.18/tahun III/29 agustus-11 September 2005 dan Buku Tanya Jawab Sufistik

Biografi Al - Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf

Al - Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf 


 Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Imam Wadi al-Ahkaf al-Habib Umar bin Saggaf Assegaf lahir di kota Besuki, Jawa timur, pada tanggal 16 dzul-Hijjah 1285 H. beliau kemudian dibawa ayahnya pindah ke Gresik. Tak lama setelah tinggal di kota itu, ayahnya meninggal dunia. Mendengar berita ini, neneknya yang sholihah di Hadramaut; Fathimah binti Abdullah ‘Allan meminta agar Abu Bakar kecil dikirimkan ke Hadramaut. Pada tahun 1293 H, Habib Abu Bakar berangkat ke Hadramaut dalam usia 8 tahun ditemani seorang shaleh dari kenalan keluarganya yang bernama Syekh Muhammad Bazmul. Kedatangannya di Seiwun disambut oleh paman, yang sekaligus gurunya, Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Kemudian beliau tinggal bersama Habib Syekh bin Umar bin Saggaf as-Saggaf. Di samping belajar dari dua orang ‘alim di atas, beliau juga belajar kepada ulama Seiwun yang lain seperti : • Habib Idrus bin Umar al-Habsyi • Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi • Habib Muhammad bin ali al-Habsyi • Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas • Habib Abdurrahman al-Masyhur • Habib Syekh bin Idrus al-Aydrus Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi yang melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abu Bakar, berkata kepada salah seorang murid beliau, “Lihatlah mereka itu, 3 wali dari wali-wali Allah swt, nama mereka sama, dan maqam mereka sama. Yang pertama sudah berada di alam barzah, yaitu Habib Abu Bakar bin Abdullah al- Aydrus; yang kedua engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aththas. Dan yang ketiga engkau akan melihatnya di akhir umurmu.” Setelah menuntut ilmu disana, pada tahun 1303 H beliau kembali ke pulau Jawa bersama Habib Alwi bin Saggaf as-Saggaf. Beliau lalu tinggal di kota Besuki selama kurang lebih 3 tahun. Di kota itu beliau mulai berdakwah. Tahun 1305 H, di usia 20 tahun, beliau pindah ke kota Gresik. Di samping berdakwah, beliau juga menimba ilmu dari ulama di pulau Jawa seperti : • Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas ( Bogor ) • Habib Abdullah bin Ali al-Haddad ( Jombang ) • Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas ( Pekalongan ) • Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya ( Surabaya ) • Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi ( Surabaya ) • Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar ( Surabaya ) Suatu hari ketika beliau menunaikan shalat Jum’at, datanglah ilhamat rabbaniyah kepada beliau untuk beruzlah. Beliau lalu mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan godaannya; menghadapkan diri kepada keagungan Ilahi, bertawajjuh kepada Sang pencipta alam, dan selalu menyebu-nyebut asma-Nya di dalam keheningan. Setelah berkhalwat dengan penuh kesabaran dan ketabahan selama 15 tahun, beliau pun akhirnya mendapatkan izin untuk keluar dari uzlahnya melalui isyarat dari guru beliau Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi. Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi berkata, “ kami memohon dan bertawajuh kepada Allah swt selama 3 malam berturut-turut untuk mengeluarkan Habib Ab Bakar bin Muhammad as- Saggaf dari Uzlahnya.” Setelah keliar dari uzlahnya, beliau ditemani oleh Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi berziarah ke makam Habib Alwi bin Hasyim as-Saggaf. Kemudian bersama gurunya, beliau langsung pergi ke Surabaya dan singgah di kediaman Habib Abdullah bin Umar as-Saggaf. Masyarakat Surabaya pun berbondong-bondong menyambut beliau. Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi berkata kepada khalayak yang ada disana seraya menunjuk Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf; “ Beliau adala salah satu khazanah dari khazanah-khazanah keluarga Ba ‘alawi. Kami mengngkapkan ini tidak lain ntuk kemanfaatan manusia, baik yang khusus maupun yang umum,” Setelah itu Habib Abu Bakar membuka majelis taklim dan dzikir di kediamannya di kota gresik. Masyarakat pun menyambut dakwah beliau dengan penuh semangat. Dalam majelisnya, beliau setdaknya telah menghatamkan kitab Ihya Ulumuddin sebanyak 40 kali. Setiap kali menghatamkan kitab tersebut, beliau biasanya mengundang masyarakat dan menyediakan jamuan untuk mereka. Beliau dikenal sangat peduli dengan thariqah para salafnya, yakni Thariqah Ba, ‘Alawi. Majelis beliau senantiasa dimakmurkan dengan kajian-kajian ilmiah yang bersumber dari kitab-kitab karya para salaf. Beliau tak pernah bosan menganjurkan mereka yang hadir di pengajian beliau agar menempuh jalan itu qadaman ‘ala qadamin bi jiddin auza’i. Ketika memimpin majelis, beliau selalu berpakaian rapi. Suatu hari beliau memakai jubah warna hijau, imamah putih dan rida’ ( selendang ) yan indah dengan wajah berseri, beliau berkata, “Aku memaksakan diri untuk berpakaian seperti ini, padahal sesungguhnya badanku saat ini dalam keadaan lemah. Semua ini untuk mengajarkan kepada kalian agar meneladani dan kebiasaan leluhur kita yang shaleh dalam berpakaian, dan agar selalu ada orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran salaf dan mengikuti jejak mereka radhiallahu Ta’ala ‘anhum. Habib Abdul Qadir bin ahmad bin Qithban beberapa kali memberinya kabar gembira, “Engkau adalah pewaris hal kakekmu “Umar bin Saggaf.” Kelebihan Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf • Suatu hari, beliau mendapat tamu seorang wartawan dari Timur tengah yang tidak percaya hal-hal yang ada kaitannya dengan kekeramatan dan kewalian. Habib Abu Bakar mempersilahkannya hadir dalam majelis pengajiannya, bahkan duduk didepan. Beberapa kali setelah mengikuti pengajian dan melihat peristiwa-peristiwa luar biasa, sang wartawan mempercayai apa yang sebelumnya tidak ia percayai. Akhirnya ia menyusun sebuah syair, yang berbuyi; "Wahai Abu Bakar. Pukullah batu yang mengeras dala hatiku dengan tongkatmu agar bisa mengeluarkan dan bisa mengubah pendirianku yang keras." Sejak itu, ia semakin semangat belajar kepada Habib Abu Bakar. • Suatu hari Abu Bakar bin Thahir Al-Hamid, pengumpul benda-benda seni antic; berburu barang-barang antic itu sampai menyeberang laut dengan perahu. Sore harinya, Abu Bakar memaksa pemilik perahu mengantarkannya pulang dengan bayaran mahal. Di tengah laut, ombak besar mengombang-ambingkan perahu yang ditumpanginya. Ia pun terus-menerus berdoa' termasuk sholawat Qamarul Wujud, seraya memanggil-manggil nama Habib Abu Bakar. Tiba-tiba perahu itu terbalik. Tapi ajaib, pada saat yang ama, Abu Bakar sudah sampai di Pantai. "Dia itu menguasai ilmu Dark, yaitu ilmu untuk menghadirkan seseorang." Maka berkat izin Allah swt, ia selamat. Ketika itu, ia langsung berziarah ke makam Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Wafatnya Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf wafat pada malam senin, tanggal 17 Dzul Hijjah 1376 H. Usia beliau saat itu 91 tahun. Jasad beliau di makamkan di sebelah masjid agung Gresik. Menjelang wafatnya beliau berpuasa selama 15 hari dan sering kali berkata’ “Aku merasa bahagia akan berjumpa dengan Allah swt,” Wasiat dan Nasihat Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf "Ketahuilah bahwa Allah swt akan memberikan kepada hambanya segala apa yang dipanjatkan sesuai dengan niatnya. Menurut saya Allah swt niscaya akan mendatangkan segala nikmat-Nya di muka dunia, dengan cara terlebih dahulu Dia titipkan di dalam hati hamba-Nya yang berhati bersih. Untuk itu kemudian dibagi-bagikan kepada hamba-Nya yang lain. Amal seorang hamba tidak akan naik dan diterima Allah swt kecuali dari hati yang bersih. Ketahuilah wahai saudaraku, seorang hamba belum dikatakan sebagai hamba Allah swt yang sejati jika belum membersihkan hatinya!" "Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, hati yang ada di dalam ini ( sambil menunjuk ke dada beliau ) seperti rumah, jika dihuni oleh orang yang pandai merawatnya dengan baik, maka akan nampak nyaman dan hidup; namun jika tidak dihuni atau dihuni oleh orang yang tidak dapat merawatnya, maka rumah itu akan rusak dan tak terawatt. Dzikir dan ketaatan kepada Allah swt merupakan penghuni hati, sedangkan kelalaian dan maksiat adalah perusak hati." "wahai Sadara-saudaraku, dengarkanlah apa yang dikatakan Habib Ali! Beliau meminta kepada kita untuk selalu meluangkan waktu menghadiri majlis-majlis semacam ini ( ta'lim, Zikir )! Ketahuilah bahwa menghadiri suatu majlis yang mulia akan dapat menghantarkan kita kepada suatu derajat yang tidak dapat dicapai oleh banyaknya amal kebajikan yang lain. Simaklah apa yang dikatakan guruku tadi!" "Di zaman ini, hanya sedikit orang yang menunjukkan adab luhur dalam majlis. Jika ada seseorang yang datang, mereka berdiri dan bersalaman atau menghentikan bacaan, padahal orang itu dating ke majlis tersebut tidak lain untuk mendengarkan. Oleh karenanya, banyak aku jumpai orang di zaman ini, jika datang seseorang, mereka berkata, "silahkan kemari" dan yang lain mengatakan juga "silahkan kemari" sedang orang yang duduk di samping mengipasinya. Gerakan-gerakan dan kegaduhan yang mereka timbulkan menghapus keberkahan majelis itu sendiri. Keberkahan majlis bisa diharapkan, apabila yang hadir beradab dan duduk di tempat yang mudah mereka capai. Jadi keberkahan majlis itu pada intinya adalah adab, sedangkan adab dan pengagungan itu letaknya di hati. Oleh karena itu, wahai saudara-saudarku, aku anjurkan kepada kalian, hadirilah majlis-majlis khoir ( baik ). Ajaklah anak-anak kalian kesana dan biasakan mereka untuk mendatanginya agar mereka menjadi anak-anak yang terdidik baik, lewat majlis-majlis yang baik pula!" "Saat-saat ini aku jarang melihat santri-santri atau siswa-siswa madrasah yang menghargai ilmu. Banyak aku lihat mereka membawa mushaf atau kitab-kitab ilmu yang lain dengan cara tidak menghormatinya, menenteng atau membawa dibelakang punggungnya. Lebih dari itu mereka mendatangi tempat-tempat pendidikan yang tidak mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mencintai ilmu tapi mencintai nilai semata-mata. Mereka diajarkan pemikiran para filosof dan budaya pemikiran-pemikiran orang Yahudi dan Nasrani." "Apa yang akan terjadi pada generasi remaja masa kini? Ini tentu adalah tanggung jawab bersama. Al-Habib Ali pernah merasakan kekecewaan yang sama seperti yang aku rasa. Padahal di zaman beliau, aku melihat kota Seiwun dan Tarim sangat makmur, bahkan negeri Hadramaut dipenuhi dengan para penuntut ilmu yang beradab, berakhlaq, menghargai ilmu dan orang 'Alim. Bagaimana jika beliau mendapati anak-anak kita disini yang tidak menghargai ilmu dan para Ulama? Niscaya beliau akan menangis dengan air mata darah. Beliau menambahkan bahwa aku akan meletakkan para penuntut ilmu di atas kepalaku dan jika aku bertemu murid yang membawa bukunya dengan rasa adab, ingin rasanya aku menciun kedua matanya." "Aku teringat pada suatu kalam seorang shaleh yang mengatakan; Tidak ada yang menyebabkan manusia rugi, kecuali keengganan mereka mengkaji buku-buku sejarah Kaum Sholihin dan berkiblat pada buku-buku modern dengan pola pikir moderat. Wahai saudara-saudarku! Ikutilah jalan orang-orang tua kita yang sholihin, sebab mereka adalah orang-orang suci yang beramal ikhlas. Ketahuilah Salaf kita tidak menyukai ilmu kecuali yang dapat membuahkan amal sholeh." "Aku teringat pada suatu untaian mutiara nasihat Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas yang mengatakan; Ilmu adalah alat, meskipun ilmu itu baik ( hasan ), tapi hanya alat bukan tujuan, oleh karenanya ilmu harus diiringi adab, akhlaq dan niat-niat yang sholeh. Ilmu demikianlah yang dapat mengantarkan seseorang kepada maqam-maqam yang tinggi."

Wikipedia

Hasil penelusuran

Translate